BOGOR – Roaders, akhir-akhir ini Kebun Raya Bogor (KRB) kembali menjadi perbincangan hangat, bukan karena pesona pepohonan langka berumur ratusan tahun yang membuat pengunjung merasa nyaman dan teduh ataupun kembali mekarnya Raflesia Arnoldi setelah 16 tahun lamanya. Tetapi karena adanya polemik di masyarakat khususnya para pemerhati lingkungan, drama ini terjadi karena terkait sebuah inisiasi sebuah konsep wisata yang dilakukan oleh pihak pengelola dengan membuat sebuah program bertema Glow dimana roaders bisa menyaksikan proyeksi visual yang menghiasi KRB. Glow merupakan sebuah sajian wisata malam hari dengan objek wisata beberapa taman tematik di kawasan yang menjadi rumah bagi 13.684 spesimen tumbuhan konservasi yang terdiri dari 3.434 spesies, 1,257 marga dan 222 suku atau family.

Spot seluas 87 meter yang digunakan tema glow ini dikhawatirkan dapat membahayakan kehidupan hewan dan serangga penyerbuk, selain itu atraksi lampu di malam hari tersebut berpotensi mengubah keheningan malam KRB. Penolakan adanya atraksi tersebut tertuang dalam surat terbuka yang disampaikan oleh lima mantan kepala KRB yakni, Prof. Dr. Made Sri Prana (1981-198), Prof. Dr. Usep Soetisna (1983-1987), Dr. Ir. Suhirman (1990-1997) Prof. Dr. Dedy Darnaedi (1997-2003) Dr. Irawati (2003-2008). Isi surat terbuka itu diantaranya menyatakan “Nature Communication melaporkan, penggunaan lampu berlebihan di waktu malam akan mengganggu perilaku dan fisiologi serangga penyerbuk, nokturnal maupun diurnal.”
Selain itu di penghujung surat terbuka yang ditujukan kepada Sekretaris Utama – BRIN, Plt. Direktur Kemitraan Riset dan Inovasi-BRIN, Plt. Direktur Pengelolaan Koleksi Ilmiah-BRIN, Plt. Kepala Kantor Pusat Riset Konservasi-BRIN, Direktur Utama Mitra Natura Raya-MNR dimana surat ini juga menjadi tembusan untuk Kepala BRIN, Wali Kota Bogor dan Ketua DPRD Kota Bogor, para mantan Kepala Kebun Raya Bogor itu juga menegaskan, “Dengan demikian, kami sebagai pendahulu yang pernah ikut mengawal, dan mewarnai Kebun Raya berkewajiban menyampaikan hal ini kepada penerus pengelola Kebun Raya yang sekarang mendapat amanah. Apapun pilihannya, apapun kebijakannya, tentu pimpinan yang sedang mengemban amanah yang menentukan sesuai dengan kewenangannya. Namun, kami titipkan untuk tetap konsisten menjaga Marwah Kebun Raya sebagai titipan anak cucu kita.”

Menanggapi polemik ataupun pro dan kontra terkait pengelolaan Kebun Raya Bogor. Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto tetap bersikukuh bahwa pihak ketiga yang mengelola Kawasan itu harus mematuhi aturan pemerintah setempat. Hal ini berawal dari permintaan yang diajukan oleh PT Mitra Natura Raya (MNR) agar tidak mengindahkan permintaan pemerintah setempat terkait penghentian aktivitas penelitian ataupun percobaan wisata Glow. Bima Arya menjelaskan, “Saya sangat menyayangkan dan memberikan catatan, kalau tidak sama dengan cara pandang Pemerintah Kota. Pemerintah Kota betul-betul menganggap Kebun Raya ini bukan saja hutan, bukan saja untuk kelestarian alam, tapi ini adalah identitas kota, ini adalah cagar budaya. Jadi kalau mereka tidak memiliki cara pandang yang sama, ya lebih baik tidak boleh masuk Kota Bogor,” tutupnya.
Menanggapi polemik tersebut, pendapat lain disampaikan oleh Badan Riset dan Inovasi (BRIN), dimana mereka segera melakukan penelitian terkait dampak cahaya buatan (Artificial Light at Night) pada area eduwisata Glow di Kebun Raya Bogor (KRB). Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menjelaskan bahwa hasil riset tahap pertama menunjukkan tidak ada pengaruh signifikan dari cahaya buatan dari program Glow terhadap pohon-pohon yang berada di Kebun Raya Bogor. Ia mengatakan, Lampu-lampu yang menghiasi lima taman yang masuk dalam program Glow juga memiliki tingkat pencahayaan yang rendah. Setiap program yang akan dilaksanakan di Kebun Raya, termasuk program Glow sudah melalui pertimbangan, kajian dan persetujuan dari BRIN.